Setiap
muslim pastilah mengetahui bahwa ibadah haji ke Baitullah merupakan
salah satu rukun dari lima rukun agamanya. Dan kini, bulan pelaksanaan
haji telah menjelang. Jutaan kaum muslimin dari berbagai penjuru dunia
akan membanjiri tanah suci yang dimuliakan Allah Subhanahu wa Ta’ala
tersebut. Ucapan talbiyah menyambut panggilan Allah Subhanahu wa Ta’ala
terluncur dari lisan tamu-tamu Allah Subhanahu wa Ta’ala.
لَبَّيْكَ
اللّهُمَّ لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ، إِنَّ
الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ
“Aku
penuhi panggilan-Mu ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu tidak ada sekutu
bagi-Mu, aku penuhi panggilan-Mu, sesungguhnya segala pujian,
kenikmatan, dan kerajaan adalah milik-Mu, tidak ada sekutu bagi-Mu.”
Berangkat
ke tanah suci, melaksanakan ibadah haji dan umrah ini merupakan impian
setiap insan beriman mewujudkan titah Allah Yang Maha Rahman, yang telah
berfirman:
وَلِلّهِ
عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيْلاً
وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِيْنَ
“Mengerjakan
haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang yang
mampu mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari
kewajiban haji maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan
sesuatu) dari semesta alam.” (Ali ‘Imran: 97)
Namun
yang sangat disayangkan, banyak sekali hadits dhaif/lemah yang tersebar
seputar ibadah yang agung ini. Terkadang, hadits-hadits itu dijadikan
pegangan oleh sebagian kaum muslimin yang awam tentang hadits Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Padahal dalam syariat yang mulia ini,
hadits dhaif tidak boleh dijadikan sandaran dalam suatu amalan,
sekalipun dalam fadhailul ‘amal. Demikian menurut pendapat yang benar.
Sebagai
bentuk peringatan bagi kaum muslimin, dalam lembaran rubrik Hadits kali
ini, akan kami sebutkan sedikit dari sekian banyak hadits dhaif yang
berkaitan dengan ibadah haji dan umrah. Kami nukilkan hadits-hadits
tersebut dari kitab yang sangat berfaedah karya Al-Imam Al-Muhaddits
Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah yang berjudul Silsilah
Al-Ahadits Adh-Dha’ifah [1]. Kami katakan hanya sedikit yang kami
bawakan dalam rubrik ini, karena lebih banyak lagi hadits dhaif yang
tidak dapat kami sebutkan karena terbatasnya ruang.
Kami
berharap, semoga yang sedikit ini menjadi perhatian kaum muslimin dan
tidak lagi menjadikannya sebagai pegangan. Dan semoga kaum muslimin mau
untuk selalu bertanya kepada ahlul ilmi (orang yang berilmu agama)
tentang perkara agama mereka, mana yang diperintahkan dan mana yang
tidak diperintahkan, mana yang shahih dan mana yang dhaif. Karena Allah
Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لاَ تَعْلَمُوْنَ
“Bertanyalah kalian kepada ahludz dzikr (orang-orang yang berilmu) jika kalian tidak tahu.” (An-Nahl: 43)
Hadits-hadits Dhaif Berkaitan dengan Ibadah Haji
1. Keutamaan berhaji
الْحَاجُّ يَشْفَعُ فِي أَرْبَعِ مِئَةِ أَهْلِ بَيْتٍ -أَوْ قَالَ: مِنْ أَهْلِ بَيْتِهِ-
“Orang
yang berhaji akan memberi syafaat kepada 400 orang ahlu bait –atau Nabi
mengatakan: 400 orang dari ahlu bait (keluarga)nya–.” (Al-Imam
Al-Albani rahimahullah menyatakan hadits ini mungkar, diriwayatkan oleh
Al-Bazzar dalam Musnad-nya. Lihat Adh-Dha’ifah no. 5091)
حُجُّوا تَسْتَغْنُوْا…
“Berhajilah
kalian niscaya kalian akan merasa berkecukupan.…” (Al-Imam Al-Albani
menyatakan hadits ini dhaif, diriwayatkan oleh Ad-Dailami, 2/83. Lihat
Adh-Dha’ifah no. 3480)
حُجُّوا، فَإِنَّ الْحَجَّ يَغْسِلُ الذُّنُوْبَ كَمَا يَغْسِلُ الْمَاءُ الدَّرَنَ
“Berhajilah
kalian, karena sesungguhnya haji itu mencuci dosa-dosa sebagaimana air
mencuci kotoran.” (Al-Imam Al-Albani rahimahullah menyatakan hadits ini
maudhu’ (palsu), diriwayatkan oleh Abul Hajjaj Yusuf bin Khalil dalam
As-Saba’iyyat, 1/18/1. Lihat Ad-Dha’ifah no. 542)
حَجَّةٌ لِمَنْ لَمْ يَحُجَّ خَيْرٌ مِنْ عَشْرِ غَزَوَاتٍ، وَغَزْوَةٌ لِمَنْ حَجَّ خَيْرٌ مِنْ عَشْرِ حُجَجٍ…
“(Menunaikan
ibadah) haji bagi orang yang belum berhaji itu lebih baik daripada
sepuluh peperangan. Dan (ikut serta dalam) peperangan bagi orang yang
telah berhaji itu lebih baik daripada sepuluh haji….” (Al-Imam Al-Albani
rahimahullah menyatakan hadits ini dhaif, diriwayatkan oleh Ibnu
Bisyran dalam Al-Amali, 27/117/1. Lihat Adh-Dha’ifah no. 1230)
إِذَا
لَقِيْتَ الْحَاجَّ فَسَلِّمْ عَلَيْهِ وَصَافِحْهُ، وَمُرْهُ أَنْ
يَسْتَغْفِرَ لَكَ قَبْلَ أَنْ يَدْخُلَ بَيْتَهُ، فَإِنَّهُ مَغْفُوْرٌ
لَهُ
“Apabila
engkau bertemu dengan seorang haji, ucapkanlah salam padanya dan
jabatlah tangannya, serta mohonlah padanya agar memintakan ampun bagimu
sebelum ia masuk ke dalam rumahnya, karena orang yang berhaji itu telah
diampuni.” (Al-Imam Al-Albani rahimahullah menyatakan hadits ini
maudhu’, diriwayatkan oleh Ahmad, 2/69 dan 128, Ibnu Hibban dalam
Al-Majruhin, 2/265, Abusy Syaikh dalam At-Tarikh, hal. 177. Lihat
Adh-Dha’ifah no. 2411)
مَنْ مَاتَ فِي هذَا الْوَجْهِ مِنْ حَاجٍّ أَوْ مُعْتَمِرٍ، لَمْ يُعْرَضْ وَلَمْ يُحَاسَبْ، وَقِيْلَ لَهُ: ادْخُلِ الْجَنَّةَ
“Siapa
yang meninggal dalam sisi ini, baik ia berhaji atau berumrah, niscaya
amalnya tidak dipaparkan kepadanya dan tidak akan dihisab. Dan dikatakan
kepadanya: ‘Masuklah engkau ke dalam surga.’” (Al-Imam Al-Albani
rahimahullah menyatakan hadits ini mungkar, diriwayatkan oleh
Ad-Daraquthni, 288. Lihat Adh-Dha’ifah no. 2187)
الْحَاجُّ
فِي ضَمَانِ اللهِ مُقْبِلاً وَمُدْبِرًا، فَإِنْ أَصَابَهُ فِي سَفَرِهِ
تَعْبٌ أَوْ نَصَبٌ غَفَرَ اللهُ لَهُ بِذلِكَ سَيِّئَاتِهِ، وَكَانَ لَهُ
بِكُلِّ قَدَمٍ يَرْفَعُهُ أَلْفَ دَرَجَةٍ، وَبِكُلِّ قَطْرَةٍ تُصِيْبُهُ
مِنْ مَطَرٍ أَجْرُ شَهِيْدٍ
“Orang
yang berhaji itu dalam tanggungan/jaminan Allah ketika datang maupun
pulangnya. Bila dia tertimpa kepayahan atau sakit dalam safarnya, Allah
akan mengampuni kesalahan-kesalahannya. Dan setiap telapak kaki yang ia
angkat untuk melangkah, ia dapatkan seribu derajat. Dan setiap tetesan
hujan yang menimpanya, ia dapatkan pahala orang yang mati syahid.”
(Al-Imam Al-Albani rahimahullah menyatakan hadits ini maudhu’,
diriwayatkan oleh Ad-Dailami, 2/98. Lihat Adh-Dha’ifah no. 3500)
خَيْرُ مَا يَمُوْتُ عَلَيْهِ الْعَبْدُ أَنْ يَكُوْنَ قَافِلاً مِنْ حَجٍّ أَوْ مُفْطِرًا مِنْ رَمَضَانَ
“Sebaik-baik
keadaan meninggalnya seorang hamba adalah ia meninggal dalam keadaan
pulang dari menunaikan ibadah haji atau dalam keadaan berbuka dari puasa
Ramadhan.” (Al-Imam Al-Albani rahimahullah menyatakan hadits ini dhaif,
diriwayatkan oleh Ad-Dailami 2/114. Lihat Adh-Dha’ifah no. 3583)
2. Keutamaan berhaji yang disertai menziarahi kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
مَنْ
حَجَّ حَجَّةَ اْلإِسْلاَمِ، وَزَارَ قَبْرِي وَغَزَا غَزْوَةً وَصَلَّى
عَلَيَّ فِي الْمَقْدِسِ، لَمْ يَسْأَلْهُ اللهُ فِيْمَا افْتَرَضَ
عَلَيْهِ
“Siapa
yang berhaji dengan haji Islam yang wajib, menziarahi kuburku,
berperang dengan satu peperangan dan bershalawat atasku di Al-Maqdis,
maka Allah tidak akan menanyainya dalam apa yang Allah wajibkan
kepadanya.” (Al-Imam Al-Albani rahimahullah menyatakan hadits ini
maudhu’/palsu, disebutkan oleh As-Sakhawi dalam Al-Qaulul Badi’, hal.
102. Lihat Adh-Dha’ifah no. 204) [2]
مَنْ حَجَّ فَزَارَ قَبْرِي بَعْدَ مَوْتِي، كَانَ كَمَنْ زَارَنِي فِي حَيَاتِي
“Siapa
yang berhaji, lalu ia menziarahi kuburku setelah wafatku, maka dia
seperti orang yang menziarahiku ketika hidupku.” (Al-Imam Al-Albani
rahimahullah menyatakan hadits ini maudhu’, diriwayatkan oleh
Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jamul Kabir, 3/203/2, dan Al-Ausath, 1/126/2.
Diriawayatkan pula oleh yang selainnya. Lihat Adh-Dha’ifah no. 47) [3]
3. Haji dilaksanakan sebelum menikah
الْحَجُّ قَبْلَ التَّزَوُّجِ
“Haji
itu dilaksanakan sebelum menikah.” (Al-Imam Al-Albani rahimahullah
menyatakan hadits ini maudhu’, dibawakan oleh As-Suyuthi dalam Al-Jami’
Ash-Shaghir. Lihat Adh-Dha’ifah no. 221)
مَنْ تَزَوَّجَ قَبْلَ أَنْ يَحُجَّ فَقَدْ بَدَأَ بِالْمَعْصِيَةِ
“Siapa
yang menikah sebelum menunaikan ibadah haji maka sungguh ia telah
memulai dengan maksiat.” (Al-Imam Al-Albani rahimahullah menyatakan
hadits ini maudhu’, diriwayatkan oleh Ibnu ‘Adi, 20/2. Lihat
Adh-Dha’ifah no. 222)
4. Banyak berhaji mencegah kefakiran
كَثْرَةُ الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ تَمْنَعُ الْعَيْلَةَ
“Banyak
melaksanakan haji dan umrah mencegah kepapaan.” (Al-Imam Al-Albani
rahimahullah menyatakan hadits ini maudhu’, diriwayatkan oleh
Al-Muhamili. Lihat Adh-Dha’ifah no. 477)
5. Tidak boleh mengarungi lautan kecuali orang yang ingin berhaji
لاَ
يَرْكَبُ الْبَحْرَ إِلاَّ حَاجٌّ أَوْ مُعْتَمِرٌ، أَوْ غَازٍ فِي
سَبِيْلِ اللهِ، فَإِنَّ تَحْتَ الْبَحْرَ نَارًا وَ تَحْتَ النَّارِ
بَحْرًا
“Tidak
boleh mengarungi lautan kecuali orang yang berhaji atau berumrah atau
orang yang berperang di jalan Allah, karena di bawah lautan itu ada api
dan di bawah api ada lautan.” (Al-Imam Al-Albani rahimahullah menyatakan
hadits ini mungkar, diriwayatkan oleh Abu Dawud, 1/389, Al-Khathib
dalam At-Talkhis, 78/1. Lihat Adh-Dha’ifah no. 478)
6. Keutamaan ber-ihlal dari Masjidil Aqsha
مَنْ
أَهَّلَ بِحَجَّةٍ أَوْ عُمْرَةٍ مِنَ الْمَسْجِدِ اْلأَقْصَى إِلَى
الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا
تَأَخَّرَ، أَوْ وَجَبَتْ لَهُ الْجَنَّةُ
“Siapa
yang ber-ihlal [4] haji atau umrah dari Masjidil Aqsha ke Masjidil
Haram, akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan yang akan datang,
atau diwajibkan surga baginya.” (Al-Imam Al-Albani rahimahullah
menyatakan hadits ini dhaif, diriwayatkan oleh Abu Dawud, 1/275, Ibnu
Majah, 2/234-235, Ad-Daraquthni, hal. 289, Al-Baihaqi, 5/30, dan Ahmad,
6/299. Lihat Adh-Dha’ifah no. 211)
7. Ancaman bagi orang yang berhaji namun tidak menziarahi kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
مَنْ حَجَّ الْبَيْتَ وَلَمْ يَزُرْنِي فَقَدْ جَفَانِي
“Siapa
yang haji ke Baitullah namun ia tidak menziarahi kuburku maka sungguh
ia telah berbuat jafa` (kasar) kepadaku.” (Al-Imam Al-Albani
rahimahullah menyatakan hadits ini maudhu’, demikian dikatakan Al-Hafizh
Adz-Dzahabi dalam Al-Mizan, 3/237, dibawakan oleh Ash-Shaghani dalam
Al-Ahadits Al-Maudhu’ah, hal. 6. Demikian pula Az-Zarkasyi dan
Asy-Syaukani dalam Al-Fawa`id Al-Majmu’ah fil Ahadits Al-Maudhu’ah, hal.
42. Lihat Adh-Dha’ifah no. 45)
8. Keutamaan menghajikan orang tua
مَنْ
حَجَّ عَنْ وَالِدَيْهِ بَعْدَ وَفَاتِهِمَا كَتَبَ اللهُ لَهُ عِتْقًا
مِنَ النَّارِ، وَكَانَ لِلْمَحْجُوْجِ عَنْهُمْ أَجْرُ حَجَّةِ تَامَّةٍ
مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْتَقِصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْءٌ
“Siapa
yang menghajikan kedua orang tuanya setelah keduanya wafat maka Allah
akan menetapkan dia dibebaskan dari api neraka. Dan bagi yang dihajikan
akan memperoleh pahala haji yang sempurna tanpa mengurangi pahala orang
yang menghajikan sedikitpun.” (Al-Imam Al-Albani rahimahullah menyatakan
hadits ini mungkar, diriwayatkan oleh Abul Qasim Al-Ashbahani dalam
At-Targhib. Lihat Adh-Dha’ifah no. 5677)
إِذَا
حَجَّ الرَّجُلُ عَنْ وَالِدَيْهِ تُقْبَلُ مِنْهُ وَمِنْهُمَا،
وَاسْتُبْشِرَتْ أَرْوَاحُهُمَا فِي السَّمَاءِ وَكُتِبَ عِنْدَ اللهِ
بَرًّا
“Apabila
seseorang menghajikan kedua orang tuanya maka akan diterima amalan itu
darinya dan dari kedua orang tuanya, dan diberi kabar gembira ruh
keduanya di langit dan ia (si anak) dicatat di sisi Allah sebagai anak
yang berbakti (berbuat baik kepada orang tua).” (Al-Imam Al-Albani
rahimahullah menyatakan hadits ini dhaif, diriwayatkan oleh
Ad-Daraquthni dalam, As-Sunan, 272, Ibnu Syahin dalam At-Targhib, 299/1
dan Abu Bakr Al-Azdi Al-Mushili dalam Hadits-nya. Lihat Adh-Dha’ifah no.
1434)
9. Hadits dhaif tentang keutamaan berhaji dengan jalan kaki
إِنَّ
لِلْحَجِّ الرَّاكِبِ بِكُلِّ خَطْوَةٍ تَخْطُوْهَا رَاحِلَتُهُ
سَبْعِيْنَ حَسَنَةً، وَالْمَاشِي بِكُلِّ خَطْوَةٍ يَخْطُوْهَا سَبْعَ
مِئَةِ حَسَنَةٍ
“Sesungguhnya
orang yang berhaji dengan berkendaraan mendapatkan 70 kebaikan dengan
setiap langkah yang dilangkahkan oleh kendaraannya. Sementara orang yang
berhaji dengan berjalan kaki, dengan setiap langkah yang ia langkahkan
mendapatkan 700 kebaikan.” (Al-Imam Al-Albani rahimahullah menyatakan
hadits ini dhaif, diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dalam Al-Kabir, 3/15/2,
dan Adh-Dhiya` dalam Al-Mukhtarah, 204/2. Lihat Adh-Dha’ifah no. 496)5
10. Keutamaan thawaf
مَنْ طَافَ بِالْبَيْتِ خَمْسِيْنَ مَرَّةً، خَرَجَ مِنْ ذُنُوْبِهِ كَيَوْمٍ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ
“Siapa
yang thawaf di Baitullah 50 kali, maka ia terlepas dari dosa-dosanya
sehingga keberadaannya laksana hari ia dilahirkan oleh ibunya (bersih
dari dosa-dosa).” (Al-Imam Al-Albani rahimahullah menyatakan hadits ini
dhaif, diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, 1/164 dan selainnya. Lihat
Adh-Dha’ifah no. 5102)
طَوَافُ سَبْعٍ لاَ لَغْوَ فِيْهِ يَعْدِلُ رَقَبَةً
“Thawaf
tujuh kali tanpa melakukan perkara laghwi (sia-sia) di dalamnya
sebanding dengan membebaskan budak.” (Al-Imam Al-Albani rahimahullah
menyatakan hadits ini dhaif jiddan (lemah sekali), diriwayatkan oleh
Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf, 5/8833. Lihat Adh-Dha’ifah no. 4035)
11. Hari Arafah
عَرَفَةُ يَوْمَ يُعَرِّفُ النَّاسُ
“Arafah
adalah hari di mana manusia wuquf di Arafah.” (Al-Imam Al-Albani
rahimahullah menyatakan hadits ini dhaif, diriwayatkan oleh Al-Harits
bin Abi Usamah dalam Musnad-nya, hal. 93, Ad-Daraquthni, 257, Ad-Dailami
2/292. Lihat Ad-Dha’ifah no. 3863)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
[Dinukil dari Majalah Asy-Syari’ah vol. III/No.27/1427 H/2006, Judul Asli: Hadits-Hadits Dhaif tentang Haji]
____________
Footnote:
Footnote:
[1]
Guru Besar kami Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah dalam kitab beliau
Ijabatus Sa`il (hal. 567) berkata: “Adapun yang ditulis oleh Asy-Syaikh
Al-Albani rahimahullah dalam kitabnya Silsilah Adh-Dha’ifah, ketika
membacanya benar-benar menenangkan hati kami (karena tepat dan telitinya
penghukuman beliau terhadap hadits, pen.).”
[2]
Al-Imam Al-Albani rahimahullah berkata: “(Hadits ini maudhu’, tampak
sekali kebatilannya) karena membuat anggapan telah diwahyukan kepada
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa menunaikan perkara yang
disebutkan dalam hadits berupa haji, ziarah kubur, dan berperang, bisa
menggugurkan pelakunya dari hukuman bila ia bermudah-mudahan dalam
meninggalkan kewajiban-kewajiban agama yang lain. Ini merupakan
kesesatan. Sungguh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam amat jauh
dari mengucapkan perkataan yang menimbulkan anggapan yang salah.
Bagaimana lagi dengan ucapan yang secara jelas menunjukkan kesesatan?!”
(Adh-Dha’ifah, 1/370)
[3]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam Al-Qa’idah Al-Jalilah
(hal. 57) berkata: “Hadits-hadits tentang ziarah kubur Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam seluruhnya dhaif. Tidak ada satupun yang bisa
dijadikan sandaran dalam agama ini. Karena itu, ahlu Shihah dan Sunan
(ulama yang menyusun kitab Shahih dan Sunan) tidak ada yang
meriwayatkannya sedikit pun. Yang meriwayatkan hadits-hadits semacam itu
hanyalah ulama yang biasa membawakan hadits-hadits dhaif seperti
Ad-Daraquthni, Al-Bazzar, dan selain keduanya.”
Kemudian
Ibnu Taimiyyah rahimahullah membawakan hadits di atas. Setelah itu
beliau berkata: “Hadits ini kedustaannya jelas sekali. Hadits ini
menyelisihi agama kaum muslimin. Karena orang yang menziarahi Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika hidupnya dan beriman kepada
beliau, berarti orang itu termasuk shahabat beliau. Terlebih lagi bila
orang itu termasuk orang-orang yang berhijrah kepada beliau dan berjihad
bersama beliau. Telah pasti sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Janganlah kalian mencela para shahabatku. Maka demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya salah seorang dari kalian menginfakkan emas semisal gunung Uhud, niscaya tidak dapat mencapai satu mud infak salah seorang mereka, dan tidak pula setengahnya.”
“Janganlah kalian mencela para shahabatku. Maka demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya salah seorang dari kalian menginfakkan emas semisal gunung Uhud, niscaya tidak dapat mencapai satu mud infak salah seorang mereka, dan tidak pula setengahnya.”
Seseorang
yang hidup setelah shahabat, tidaklah bisa sama dengan shahabat hanya
dengan mengerjakan amalan-amalan wajib yang diperintahkan seperti haji,
jihad, shalat lima waktu, bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Bagaimana lagi dengan amalan yang tidak wajib dengan
kesepakatan kaum muslimin (yaitu menziarahi kubur Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam)? Tidak pula disyariatkan untuk safar (menempuh
perjalanan jauh) untuk mengerjakannya, bahkan dilarang. Adapun safar
menuju ke masjid beliau guna mengerjakan shalat di dalamnya maka hal itu
mustahab (disenangi).” (Lihat Adh-Dha’ifah, 1/123-124)
[4] Memulai ihram dan mengucapkan talbiyah
[5]
Al-Imam Al-Albani rahimahullah berkata: “Bagaimana bisa hadits ini
dianggap shahih, sementara yang ada justru sebaliknya? Di mana telah
shahih riwayat yang menyatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam melaksanakan haji dengan berkendaraan. Seandainya berhaji dengan
jalan kaki itu lebih afdhal, niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan
memilih hal itu untuk Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena
itulah, jumhur ulama berpendapat bahwa haji dengan berkendaraan itu
lebih utama, sebagaimana disebutkan oleh An-Nawawi rahimahullah dalam
Syarh Muslim.” (Adh-Dha’ifah, 1/711-712)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar