Rabu, 16 November 2011

Doa Seorang Ibu untuk Anaknya…

Bismillahirrohmanirrohim

Ya Allah ya Salam
Ketika Engkau menebar keselamatan pada hari ini,
maka dahulukanlah untuk anakku ini…
Ya Rahman Ya Rohiim
Jadikanlah ia dalam golongan orang yang selalu menerima rahmat kasih sayang-MU

Ya rozaaq ya Basith
Luaskan rizki dan barokah untuknya
Ya barii
Mudahkanlah hidupnya, sembuhkan segala penyakit dalam jasad dan ruhnya.
Ya Quddus
Jauhkan ia dari segala penyakit hati

Ya Rofii
muliakan dan tinggikan derajatnya

Ya Malikul mulki
Jagalah dia dalam kuasaMU

Ya Syakur
jadikanlah ia ahli bersyukur

Ya Ghoffar
Ampunilah ia sepanjang hidup di dunia dan akhiratnya
Ya Shobuur Ya Mu’iz
tambahkan kesabaran dan beningkanlah hatinya
Yaa Haadii
berikanlah petunjuk dalam ujian yang akan ditempuhnya sebentar lagi
Amin ya Robbal ‘alamin….
Doa ini terkirim hanya beberapa menit sebelum ujian sang anak dimulai

DAHSYATNYA DOA SEORANG IBU

DAHSYATNYA DOA SEORANG IBU

oleh Kisz MamaxJihansafa Azzahra pada 16 November 2011 jam 12:05
Alkisah pada masa Rasulullah, terdapat seorang sahabat yang bernama Al Qomah. Sahabat alim ini dikenal sangat taat dalam menjalankan ibadah khususnya sholat. Setiap Rasulullah sholat pasti beliau selalu menjadi makmum dibelakangnya. Tetapi malang, menjelang akhir hidupnya, Al Qomah mengalami cobaan berat. Disaat-saat sakaratul maut, lidahnya begitu berat untuk mengucapkan dua kalimat syahadat, meskipun berkali-kali Rasulullah menuntunnya. Sehingga akhirnya Rasulullah memanggil istri Al qomah dan menanyakan keberadaan ibu Al Qomah. Ternyata ibu al Qomah masih hidup dan tinggal di sebuah kota. Dengan segera Rasulullah mendatangi dan menemui ibu Al Qomah.
Rasulullah menceritakan bagaimana kondisi Al Qomah. Ibu tersebut tidak menunjukkan reaksi apapun bahkan menyumpahinya. Setelah Rasulullah berdialog dengan ibu Al Qomah, barulah beliau memahami ternyata ibu tersebut memiliki sakit hati pada putranya. Setelah berkeluarga, Al Qomah tidak lagi memperhatikan hak-hak ibunya. Dengan bujukan Rasulallah, akhirnya hati ibu tersebut luluh juga dan memaafkan putranya. Dengan ketulusan hati ibunya memaafkan kesalahannya, akhirnya Al qomah dapat mengucapkan dua kalimat syahadat dan meninggal dunia dengan khusnul khotimah.
Subhanallah……kisah diatas adalah pelajaran dan hikmah yang sangat berharga bagi kita sebagai seorang anak untuk lebih berhati-hati dalam menjaga hubungan kita dengan orang tua kita khususnya ibu kita. Kesalahan sekecil apapun menurut pandangan kita ternyata dapat berdampak besar bagi diri kita ketika ibu kita tidak ridho terhadap apa yang kita perbuat.
Kisah tersebut juga menunjukkan begitu dalamnya kasih seorang ibu. Dengan alasan apapun, jauh dilubuk hatinya yang paling dalam tidak ada kata benci pada anaknya sekalipun seorang ibu terdholimi oleh perilaku anaknya.
Dalam kisah-kisah yang lain, baik kisah nyata ataupun dongeng, kedasyatan doa seorang ibu mampu mengalahkan urusan apapun di dunia ini. Karena dalam keridhoan seorang ibu pada anaknya sudah pasti terdapat ridho Allah. Bahkan keridhoan Allah kepada orang yang memuliakan ibunya tidak pernah mendatangkan kerugian, justru akan membuahkan keberuntungan baik di dunia maupun diakhirat.
Kisah pemuda yang hidup didalam kubah terbuat dari batu permata di dasar samudra pada jaman Nabi Sulaiman (baca cerita ba’da isya’) adalah bukti bahwa Allah memberikan kenikmatan yang luar biasa kepada anak yang berbakti kepada ibunya. Tidak ada doa yang tidak dikabulkan oleh Allah dari seorang ibu yang ridho kepada anaknya. Dengan kata lain doanya seorang ibu sangat “manjur” dan akan menentukan masa depan anaknya.
AMAL TERBAIK DALAM HABLUMMINANNAS
Begitu urgennya perkara ini (berbakti pada orang tua), dalam Al Qur’an surat Al Baqarah : 83 perintah ihsan (baik) pada orang tua menempati posisi kedua sesudah perintah beribadah kepada Allah atau larangan mempersekutukan Allah. Bahkan Allah meletakkan perintah terima kasih kepada orang tua setelah terima kasih kepada Allah (QS. Luqman : 14).
Tingginya kedudukan berbakti kepada orang tua menyebabkan durhaka pada orang tua termasuk dalam dosa besar kedua setelah syirik (HR. Bukhari dan Muslim).
Pembaca yang budiman, siapapun dan apapun jabatan kita saat ini apakah kita seorang pengusaha sukses, pejabat tinggi, direktur, entertainment dsb, status kita sebagai seorang anak tidak akan pernah berubah dimata ibu kita. Dibalik kebesaran diri kita, kita tetaplah sebagai seorang anak yang sampai kapanpun membutuhkan seorang ibu. Sadar ataupun tidak sadar, menjadi apa kita saat ini adalah karena peran, hasil ikhtiar dan doa orang tua kita dalam membesarkan, mengasuh dan mendidik kita selama ini.
Kesuksesan kita menjadi seorang pribadi unggul merupakan kerja keras orang tua kita dalam mencetak diri kita. Tanpa tekad dan semangat orang tua dalam membina anak-anaknya, kita ini tidak memiliki arti apapun dihadapan manusia maupun Allah.
Pengorbanan orang tua tidak akan pernah sebanding dengan pengorbanan yang kita lakukan untuk mereka. Sebesar apapun harta yang kita keluarkan, tidak akan pernah mampu menggantikan cucuran keringat dan kelelahan orang tua kita.
Begitu naifnya, kesibukan kita terhadap berbagai urusan sering menyebabkan kita tidak bisa menjadi pelayan yang terbaik bagi orang tua kita, khususnya dihari-hari tuanya, padahal selama ini mereka selalu siap melayani kita kapanpun, disaat longgar maupun sempit, susah maupun senang.
Yang lebih mengagumkan, dihari tuanya tersebut dimana tiada harta dan tenaga yang besar, mereka tidak pernah berhenti untuk mendukung kesuksesan kita melalui doa-doanya, sementara kita terkadang lupa untuk mendoakannya, kita bahkan terburu-buru beranjak untuk segera mengerjakan pekerjaan kita setelah menunaikan ibadah sholat. Astagfirullahaladzim…..Ya Allah… ampunilah kami yang telah mendholimi ibu dan bapak kami….
INSAN BERTAGWA KUNCI KEBAHAGIAAN ORANG TUA
Abdurrahman bin Mas’ud pernah bertanya pada Rasulullah mengenai amal yang paling disukai oleh Allah. Rasullullah menjawab,”Sholat pada waktunya.”Dan setelah itu,”berbuat baik pada orang tua”. Ini berarti bahwa berbakti pada orang tua merupakan amalan terbaik kedua setelah sholat tepat waktu.
Kasih ibu (bapak) yang tidak terhingga kepada kita tidak akan pernah terbalaskan. Tidak ada sesuatu yang paling menggembirakan ibu dan bapak daripada melihat anaknya dapat menyenangkan hati, berbakti, taat, sopan santun dan cerdas. Begitu pula sebaliknya tiada sesuatu yang lebih menyedihkan hati mereka daripada melihat anaknya durhaka, pembangkang, tidak sopan dan bodoh.
Kesholihan diri kita adalah penghibur hati sekaligus menjadi penolong bagi ibu bapak (kelak ketika mereka meninggal ) kita. Dengan predikat kita saat ini, tanpa pangkat “sholih” hanya akan menyengsarakan ibu bapak kita. Kita akan selalu menjadi beban bagi hari tua mereka.
Pembaca yang budiman, yakinlah, ketika kita berbuat baik kepada ibu bapak kita, Allah pasti akan menjadikan anak-anak kita kelak berbuat baik pula pada kita. Kebahagiaan yang kita berikan kepada ibu bapak kita saat ini, kelak akan kita tuai dengan kebahagiaan yang akan diberikan oleh anak-anak kita. Keikhlasan kita merawat dan mengasihi ibu bapak kita akan membuahkan keikhlasan anak-anak kita dalam merawat dan mengasihi kita. Sungguh….Allah yang rahman dan rahim adalah Maha Adil…
“Allahu robbi…ampunilah kami yang sampai saat ini belum bisa membahagiakan ibu bapak kami. Lindungilah ibu bapak kami dalam naungan kasih sayangmu yang Maha Luas dan masukkanlah mereka dalam surgaMu yang berlimpah kenikmatan dan kebahagiaan yang abadi”

Mendidik Anak Dengan Naluri Kasih Sayang

Membinakan seorang insan yang soleh jauh lebih sukar dari membina sebuah bangunan yang hebat. Pembinaan bangunan terjamin lancar dan berjaya jika cukup kepakaran dan dananya. Pembinaan manusia belum pasti berjaya dengan kepakaran paling hebat dan kewangan yang melimpah ruah.

Mendidik seorang anak memerlukan perhatian, ketekunan, kesabaran dan kesungguhan yang tinggi. Memang ia sukar dan meletihkan. Kalau tidak kerana limpahan naluri kasih sayang yang Allah semai di hati si ibu dan si ayah, mungkin tiada ibu dan bapa yang sedia menjaga dan mendidik anak.

Naluri kasih sayang tentunya menjadi bekal pendorong dalam mendidik anak. Bayangkan jika manusia, terutamanya ibu dan ayah tidak ada rasa cinta pada anak-anak. Mereka akan melihat anak-anak seperti mereka melihat kayu dan batu. Bahkan mereka mungkin akan menganggap si anak sebagai beban yang menyusahkan. Tentunya berat untuk mereka mendidik, bahkan menjaga mereka. Bersyukurlah kepada Allah yang mengurniakan rasa sayang kepada anak dan sekelian kanak-kanak. Inilah bekal motivasi semulajadi dalam kita mendidik anak-anak.

Di mana letaknya kasih sayang? Tentunya ia soalan yang sukar untuk ditanggapi. Payah untuk kita mengesan di mana letakkan rasa sayang.

Umum mempercayai ia terletak di hati. Hati di sini bukannya hati fizikal. Bukan juga jantung. Hakikatnya ia adalah satu perasaan halus yang ada di sanubari manusia. Rasa semulajadi yang menyuntik bayu damai dan bahagia. Inilah nikmat Allah yang indah. Allah jadikannya bukan sia-sia. Tujuannya, agar rasa kasih sayang itu digarap sebagai pendorong ibu bapa dalam mendidik dan membesarkan anak.

Kasih sayang mengubah persepsi seorang ibu dan bapa terhadap anak. Daripada satu beban yang menyulitkan, menjadi satu cahaya mata yang membahagiakan. Umpamanya, seorang bapa yang mempunyai ramai anak, kadang-kadang rasa terbeban dengan tanggungjawab yang semakin bertambah dan perbelanjaan yang besar. Ibu pula kadang-kadang terlintas betapa sakitnya mengandung dan melahirkan anak-anak seorang demi seorang. Betapa letihnya menjaga dan melayan kerenah di anak.

Tetapi setelah mendengar tangisan pertama anak yang lahir maka susutlah beban yang terasa. Setelah diamati wajah barisan anak-anak yang sedang nyenak, maka hilanglah keletihannya. Apabila menyaksikan anak-anak bermain riang di taman, maka luputlah kesakitan lampau. Apa lagi jika si anak menjadi seorang yang soleh dan berjaya. Semua senario ini adalah nikmat kasih sayang semulajadi kurniaan Allah kepada kita.

Dalam konteks pendidikan, naluri kasih sayang ini dapat berperanan dalam tiga keadaan iaitu:
Pertama, Allah menjadikan naluri kasih sayang ini agar manusia menjadikan usaha mendidik anak itu satu yang menyeronokkan. Sambil girang menimang anak si bapa boleh menyelitkan acah-acahnya dengan unsur tarbiyah. Sambil leka mendodoinya, si ibu boleh mengalunkan lagu-lagu yang membangkitkan jiwa, iman dan semangat juang. Sambil seronok bergurau senda, bertempuk tampar, si ibu dan ayah boleh melatih mereka erti kerjasama dan mementing diri, erti timbang rasa dan keegoan, erti ketaatan dan keengkaran, erti sopan dan biadap, serta erti dosa dan pahala. Sambil bahagia bersiar-siar dan berkelah, anak-anak boleh diajar soal-soal ketuhanan, tatacara ibadah, keluhuran akhlak dan teknik bermasyarakat. Ringkasnya, segenap aktiviti yang menyeronokkan itu boleh berubah wajahnya menjadi medan tarbiyyah insaniyah.

Kedua, naluri kasih sayang mencipta ketabahan dan kegigihan mendidik buat ibu dan bapa. Kadang-kadang ibu dan bapa terasa letih mendidik anak. Nasihat demi nasihat. Pesanan demi pesanan. Teguran demi teguran. Tapi anak tetap tidak endahkan. Di sinilah perlunya ibu bapa mengubah naluri kasih sayang tadi kepada kesabaran dan kegigihan yang tidak kunjung henti. Pandanglah air muka anak-anak. Belai mereka ketika berkomunikasi. Luahkan rasa sayang dan harapan. Teruskan usaha tarbiyah itu secara berterusan dengan penuh kesabaran.

Ketiga, fitrah kasih sayang dalam jiwa manusia juga mendorong pengorbanan luar biasa si ibu dan bapa terhadap anak-anak. Pengorbanan yang lahir dari kasih yang ini dapat membina momentum semangat dalam mendidik anak. Bagi si ibu dan bapa, biarlah masa, kudrat empat kerat, wang mencurah-curah, bahkan nyawa dikorbankan, asalkan anak-anak menjadi manusia yang berjaya. Bahkan sejuta keperitan dan penderitaan mampu diharungi dengan tabah semata-mata untuk membesarkan dan mendidik anak. Allah s.w.t. tentunya tidak akan membiarkan hambanya begitu sahaja. Allah menjamin rahmatnya kepada ibu dan bapa yang mengasihi dan merahmati anak-anaknya.

Imam Al-Bukhari telah meriwayatkan daripada Anas bin Malik r.a. katanya: Seorang wanita telah datang kepada Sayyidatina Aisyah r.a. Maka Aisyah memberikan kepadanya tiga biji kurma. Kemudian, wanita itu memberikan dua biji kurma kepada dua orang anaknya. Sebiji lagi dipegang untuk dirinya. Setelah kedua-dua anak itu selesai makan kurma masing-masing, mereka pun meminta kurma yang masih ada di tangan ibunya. Lalu si ibu membahagikan kurma itu kepada dua, lantas memberikan kepada setiap seorang anaknya sebelah kurma. Apabila datang Rasulullah s.a.w. maka Aisyah menceritakan hal itu kepada Baginda. Lalu Baginda pun bersabda kepada Aisyah: "Kenapa pula adinda hairan dengan apa yang berlaku itu? Sebenarnya Allah telah merahmati si ibu itu sebagaimana dia merahmati anak-anaknya."

Walau bagaimana pun, kasih sayang kepada Allah tidak dapat mengatasi kasih sayang kepada anak-anak. Dalam kasih ada ujian. Kadang-kadang ibu bapa diuji dengan dua persimpangan. Antara perintah Allah dan rasa sayang pada anak. Tentunya yang patut dipilih ialah perintah dan redha Allah taala. Pada zahirnya, memilih perintah Allah bermakna 'mengorbankan' anak. Tetapi hakikatnya, itulah kemanisan dan keindahan dalam perasaan kasih kepada si anak. Sejarah pengorbanan Nabi Ibrahim terpahat kukuh sebagai bukti bahawa kadang-kadang naluri kasih sayang itu terpaksa dilupakan demi perintah Allah.

Mungkin kisah Syaikh Hasan Al-Banna, seorang tokoh gerakan Islam abad ini boleh dijadikan contoh. Beliau adalah pemimpin dakwah yang mengorbankan seluruh tenaga, masa dan kudratnya untuk perjuangan Islam. Beliau sentiasa menjadikan sambutan Hari-hari Raya atau hari kebesaran sebagai peluang untuk mendekati golongan muda.

Pada suatu Hari Raya, anaknya Saiful Islam telah ditimpa sakit yang berat sehingga hampir-hampir mati. Isterinya berkata: "Kalau boleh, kanda bersama-samalah keluarga pada hari raya ini. Tambahan pula anak kita sedang sakit" Beliau menjawab: 'Sekiranya Allah bermurah untuk menyembuhkan anakku daripada penyakit, maka bagiNya segala pujian dan kesyukuran. Namun, jika Allah mentakdirkan dia meninggalkan kita, maka datuknya telah tahu mana jalan untuk ke kubur'. Lalu dia membaca firman Allah dari ayat 24 Surah Al-Taubah yang bermaksud:

"Katakanlah, jika bapa-bapa kamu, anak-anak kamu, saudara-saudara kamu, isteri-isteri kamu, kaum keluarga kamu, harta kekayaan yang kamu perolehi, barang perniagaan yang kamu bimbang kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sangat sukainya lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasulnya serta jihad pada jalanNya, maka tunggulah sehingga Allah memberikan perintahnya sedang Allah tiada memberi petunjuk kepada orang-orang yang jahat"

Tegasnya, naluri kasih sayang itu adalah satu rahmat Allah yang amat berharga. Setitis nikmat kasih sayang ini, memberikan kita selaut manfaat dan kebaikan khususnya dalam usaha mendidik anak. Namun dalam keindahan asyik kasih sayang kepada anak tersirat ujian kepada ibu dan bapa. Ujian yang perlu dilepasi bagi membuktikan bahawa kasih kepada Allah adalah mengatasi kasih sayang yang lain. Bahkan hakikatnya, kasih kepada anak itu berakar umbi daripada kasih, sayang serta rahmah Allah Azzawajalla.

Cinta Ibu Pada Anak, Selamanya Tidak Akan Pernah Pudar

Alkisah seorang anak yang terlihat sedang asyik dengan kesibukannya yaitu menulis daftar hutang sang ibu terhadap dirinya.

HUTANG IBU

minta dipijitin = Rp.5000
minta anter ke kantor = Rp.10.000
mama minjem duit = Rp. 50.000
duit jajan pake uang sendiri dulu = Rp.30.000

jumlah =Rp. 95.000
Lalu diserahkanlah daftar tersebut kepada ibunya.
"ma, ini daftar hutang mama yang kemarin."

Sang Ibu hanya tersenyum. Diambillah kertas tersebut dan Sang Ibu pun ikut menulis dibalik kertas tersebut.

HUTANG KAMU SAMA IBU
makanan buat kamu = Rp. 25rb/hari
susu buat kamu = Total Rp. 500rb
beliin kamu mainan = Total Rp. 1 jt
jajan kamu = Rp. 20rb/hari
jumlah = LUNAS
Lalu dibacalah kertas tersebut oleh Sang Anak dengan rasa penasaran.
Tiba-tiba tanpa disadari air matanya turun tidak tertahan membasahi kertas tersebut, ia memeluk ibunya sambil menangis dan meminta maaf kepada ibunya

Minggu, 13 November 2011

Nafsu Ada Karena Cintakah, atau Cinta Ada Karena Nafsu?

Manakah yang benar : “Nafsu ada karena cintakah” atau “Cinta ada karena nafsukah”.Tapi sebelumnya kita kembali mundur dulu…cinta itu merupakan suatu perasaan suka dan sayang kepada seseorang sehingga kita bisa rela melakukan apa saja demi orang yang kita cintai.Dan dengan perasaan cinta itu dapat membuat hati menjadi bahagia dan semangat dalam menjalani kehidupan ini.Dan dengan adanya perasaan cinta ini tentulah kita suka untuk berdekatan dan akhirnya menimbulkan nafsu untuk bercinta.Cinta yang sejati tidak membedakan perbedaan umur,pekerjaan,ataupun suku bangsa.

Jadi sebaik baiknya “nafsu” adalah yang didasari oleh adanya “cinta”.Dan sebaik baiknya “cinta” adalah yang didasari oleh adanya ikatan tali perkawinan.
Jadi yang sebenar benarnya adalah “nafsu ada karena cinta”,bukan “cinta ada karena nafsu”.Mengapa….?Kalau cinta ada karena berdasarkan nafsu,itu biasanya tidaklah kekal,tidak bisa bertahan lama.Dan apalagi bila nafsu tersebut timbul karena melihat kebagusan rupa atau karena harta atau materi.Bagaimana apabila rupa yang bagus tersebut sudah mulai menua atau berubah menjadi cacat karena sesuatu hal.Dan bagaimana pula bila harta dan materi yang dibanggakan itu diambil olehNya.Dan pastilah nafsu tersebut pastilah akan menurun atau malah hilang.Dan kalau hilang maka hilang pulalah cinta tersebut.
Jadi sebaik baiknya cinta adalah cinta sepasang suami isteri yang menikah karena Allah.Dan cinta tersebut akan menimbulkan nafsu yang sebak baiknya yang juga di ridhai Allah.

KESEDERHANAAN SEORANG WANITA SOLEHA


Sandal Jepit Istriku
Selera makanku mendadak punah. Hanya ada rasa kesal dan jengkel yang memenuhi kepala ini. Duh… betapa tidak gemas, dalam keadaan lapar memuncak seperti ini makanan yang tersedia tak ada yang memuaskan lidah. Sayur sop ini rasanya manis bak kolak pisang, sedang perkedelnya asin nggak ketulungan. “Ummi… Ummi, kapan kau dapat memasak dengan benar…? Selalu saja, kalau tak keasinan…kemanisan, kalau tak keaseman… ya kepedesan!” Ya, aku tak bisa menahan emosi untuk tak menggerutu.”Sabar bi…, Rasulullah juga sabar terhadap masakan Aisyah dan Khodijah. Katanya mau kayak Rasul…? ” ucap isteriku kalem. “Iya… tapi abi kan manusia biasa. Abi belum bisa sabar seperti Rasul. Abi tak tahan kalau makan terus menerus seperti ini…!” Jawabku dengan nada tinggi. Mendengar ucapanku yang bernada emosi, kulihat isteriku menundukkan kepala dalam-dalam. Kalau sudah begitu, aku yakin pasti air matanya sudah merebak. *** Sepekan sudah aku ke luar kota. Dan tentu, ketika pulang benak ini penuh dengan jumput-jumput harapan untuk menemukan ‘baiti jannati’ di rumahku. Namun apa yang terjadi…? Ternyata kenyataan tak sesuai dengan apa yang kuimpikan. Sesampainya di rumah, kepalaku malah mumet tujuh keliling. Bayangkan saja, rumah kontrakanku tak ubahnya laksana kapal burak (pecah). Pakaian bersih yang belum disetrika menggunung di sana sini. Piring-piring kotor berpesta pora di dapur, dan cucian… ouw… berember-ember. Ditambah lagi aroma bau busuknya yang menyengat, karena berhari-hari direndam dengan detergen tapi tak juga dicuci. Melihat keadaan seperti ini aku cuma bisa beristigfar sambil mengurut dada. “Ummi…ummi, bagaimana abi tak selalu kesal kalau keadaan terus menerus begini…?” ucapku sambil menggeleng-gelengkan kepala. “Ummi… isteri sholihat itu tak hanya pandai ngisi pengajian, tapi dia juga harus pandai dalam mengatur tetek bengek urusan rumah tangga. Harus bisa masak, nyetrika, nyuci, jahit baju, beresin rumah…?” Belum sempat kata-kataku habis sudah terdengar ledakan tangis isteriku yang kelihatan begitu pilu. “Ah…wanita gampang sekali untuk menangis…,” batinku berkata dalam hati. “Sudah diam Mi, tak boleh cengeng. Katanya mau jadi isteri shalihat…? Isteri shalihat itu tidak cengeng,” bujukku hati-hati setelah melihat air matanya menganak sungai dipipinya. “Gimana nggak nangis! Baru juga pulang sudah ngomel-ngomel terus. Rumah ini berantakan karena memang ummi tak bisa mengerjakan apa-apa. Jangankan untuk kerja untuk jalan saja susah. Ummi kan muntah-muntah terus, ini badan rasanya tak bertenaga sama sekali,” ucap isteriku diselingi isak tangis. “Abi nggak ngerasain sih bagaimana maboknya orang yang hamil muda…” Ucap isteriku lagi, sementara air matanya kulihat tetap merebak. *** Bi…, siang nanti antar Ummi ngaji ya…?” pinta isteriku. “Aduh, Mi… abi kan sibuk sekali hari ini. Berangkat sendiri saja ya?” ucapku. “Ya sudah, kalau abi sibuk, Ummi naik bis umum saja, mudah-mudahan nggak pingsan di jalan,” jawab isteriku. “Lho, kok bilang gitu…?” selaku. “Iya, dalam kondisi muntah-muntah seperti ini kepala Ummi gampang pusing kalau mencium bau bensin. Apalagi ditambah berdesak-desakan dalam bus dengan suasana panas menyengat. Tapi mudah-mudahan sih nggak kenapa-kenapa,” ucap isteriku lagi. “Ya sudah, kalau begitu naik bajaj saja,” jawabku ringan. Pertemuan hari ini ternyata diundur pekan depan. Kesempatan waktu luang ini kugunakan untuk menjemput isteriku. Entah kenapa hati ini tiba-tiba saja menjadi rindu padanya. Motorku sudah sampai di tempat isteriku mengaji. Di depan pintu kulihat masih banyak sepatu berjajar, ini pertanda acara belum selesai. Kuperhatikan sepatu yang berjumlah delapan pasang itu satu persatu. Ah, semuanya indah-indah dan kelihatan harganya begitu mahal. “Wanita, memang suka yang indah-indah, sampai bentuk sepatu pun lucu-lucu,” aku membathin sendiri. Mataku tiba-tiba terantuk pandang pada sebuah sendal jepit yang diapit sepasang sepatu indah. Dug! Hati ini menjadi luruh. “Oh….bukankah ini sandal jepit isteriku?” tanya hatiku. Lalu segera kuambil sandal jepit kumal yang tertindih sepatu indah itu. Tes! Air mataku jatuh tanpa terasa. Perih nian rasanya hati ini, kenapa baru sekarang sadar bahwa aku tak pernah memperhatikan isteriku. Sampai-sampai kemana ia pergi harus bersandal jepit kumal. Sementara teman-temannnya bersepatu bagus. “Maafkan aku Maryam,” pinta hatiku. “Krek…,” suara pintu terdengar dibuka. Aku terlonjak, lantas menyelinap ke tembok samping. Kulihat dua ukhti berjalan melintas sambil menggendong bocah mungil yang berjilbab indah dan cerah, secerah warna baju dan jilbab umminya. Beberapa menit setelah kepergian dua ukhti itu, kembali melintas ukhti-ukhti yang lain. Namun, belum juga kutemukan Maryamku. Aku menghitung sudah delapan orang keluar dari rumah itu, tapi isteriku belum juga keluar. Penantianku berakhir ketika sesosok tubuh berbaya gelap dan berjilbab hitam melintas. “Ini dia mujahidahku!” pekik hatiku. Ia beda dengan yang lain, ia begitu bersahaja. Kalau yang lain memakai baju berbunga cerah indah, ia hanya memakai baju warna gelap yang sudah lusuh pula warnanya. Diam-diam hatiku kembali dirayapi perasaan berdosa karena selama ini kurang memperhatikan isteri. Ya, aku baru sadar, bahwa semenjak menikah belum pernah membelikan sepotong baju pun untuknya. Aku terlalu sibuk memperhatikan kekurangan-kekurangan isteriku, padahal di balik semua itu begitu banyak kelebihanmu, wahai Maryamku. Aku benar-benar menjadi malu pada Allah dan Rasul-Nya. Selama ini aku terlalu sibuk mengurus orang lain, sedang isteriku tak pernah kuurusi. Padahal Rasul telah berkata: “Yang terbaik di antara kamu adalah yang paling baik terhadap keluarganya.” Sedang aku..? Ah, kenapa pula aku lupa bahwa Allah menyuruh para suami agar menggauli isterinya dengan baik. Sedang aku…? terlalu sering ngomel dan menuntut isteri dengan sesuatu yang ia tak dapat melakukannya. Aku benar-benar merasa menjadi suami terdzalim!!! “Maryam…!” panggilku, ketika tubuh berbaya gelap itu melintas. Tubuh itu lantas berbalik ke arahku, pandangan matanya menunjukkan ketidakpercayaan atas kehadiranku di tempat ini. Namun, kemudian terlihat perlahan bibirnya mengembangkan senyum. Senyum bahagia. “Abi…!” bisiknya pelan dan girang. Sungguh, aku baru melihat isteriku segirang ini. “Ah, kenapa tidak dari dulu kulakukan menjemput isteri?” sesal hatiku. *** Esoknya aku membeli sepasang sepatu untuk isteriku. Ketika tahu hal itu, senyum bahagia kembali mengembang dari bibirnya. “Alhamdulillah, jazakallahu…,”ucapnya dengan suara tulus. Ah, Maryam, lagi-lagi hatiku terenyuh melihat polahmu. Lagi-lagi sesal menyerbu hatiku. Kenapa baru sekarang aku bisa bersyukur memperoleh isteri zuhud dan ‘iffah sepertimu? Kenapa baru sekarang pula kutahu betapa nikmatnya menyaksikan matamu yang berbinar-binar karena perhatianku…?

IBU RUMAH TANGGA KARIR TERBESAR

Selain Adam dan Hawa, tak seorang pun di dunia ini yang tidak memiliki ibu. Bahkan bayi mungil yang dibuang di pinggir jalan sekalipun, tetaplah memiliki seorang ibu,  bagaimanapun bentuk dan wujudnya.

Tetapi ternyata tidaklah mudah untuk sekadar berterima kasih dan menghargai peran seorang ibu. Sebuah peran suci dan sakral yang kini lebih sering dianggap sebagai peran domestik dan amat tradisional. Karenanya, kini tidak sedikit perempuan, termasuk saya, kerap lebih bangga menyebutkan berbagai profesi, entah sebagai guru, wartawan, sekretaris, pedagang, atau profesi lain dibandingkan menyebut dirinya sebagai ibu rumah tangga (saja).

Suatu hari saya pernah mendaftarkan diri untuk melakukan pemeriksaan USG (ultrasonografi) pada bayi yang saya kandung di sebuah klinik bersalin. Tiba-tiba sang perawat dengan ramah menanyakan, “Apakah ibu bekerja?”

Dengan gagap dan segan saya terpaksa menggeleng. Perawat yang ramah itu pun kemudian menuliskan sesuatu di dalam kartu kontrol berobat milik saya. Belakangan saya baru tahu kalau perawat itu menuliskan “IRT” alias “Ibu Rumah Tangga” dalam kolom pekerjaan saya.

Tiba-tiba saya merasakan ada sepenggal hati saya yang terbang entah ke mana. Ada rasa kesal, sedih, malu, atau apa namanya, saya tidak tahu. Yang jelas saya diam-diam mengeluh mengapa saya tak bisa bangga mengatakan bahwa saya (hanyalah) seorang ibu rumah tangga.

Mencari Makna “Fungsi Perempuan”

Entah kenapa, sejak menjalani babak kehidupan yang baru (sebagai ibu rumah tangga murni), tiba-tiba saya merasa belum pernah menjadi ‘manusia’. Karena, merasa sama sekali belum mempunya nilai dan fungsi sosial bagi kehidupan.

Saya belum mampu memberikan sedikit warna dalam kehidupan meskipun dalam bentuk yang remeh-remeh sekalipun. Bukankah seberapa besar manusia mampu menjadi ‘manusia’ tergantung dari seberapa besar dia memberikan manfaat pada orang lain dan lingkungan sekitarnya? Dan kini, bagaimana saya bisa merasa menjadi ‘manusia’? Bagaimana bisa memiliki fungsi sosial jika saat ini kehidupan saya berputar tak lebih dari urusan kerumahtanggaan dan melayani suami?

Tidak pernah lagi saya rasakan kenikmatan memberikan sedikit pengetahuan saya dalam berbagai pelatihan rekan-rekan mahasiswa, yang dulu kerap saya lakukan. Juga kepuasan batin yang tiada terkira ketika berhasil mengumpulkan dana dan berbagai bantuan material untuk para korban bencana lewat LSM dan sebuah organisasi kemahasiswaan yang dulu pernah saya geluti. Pun peluh keringat kelegaan setelah berhasil mengejar deadline menyelesaikan tulisan-tulisan untuk tabloid kampus, tempat saya mencurahkan segala ide. Rasanya semua itu sudah begitu lama tidak lagi saya alami. Dan jujur saja, saya kangen dengan semua aktivitas itu.

Dulu, saya membayangkan begitu indah dan sederhana kehidupan menjadi seorang ibu rumah tangga. Mengurus suami dan anak-anak, membereskan berbagai urusan rumah, dan menunggu kepulangan mereka dengan senyum yang menyejukkan.

Kenyataannya ternyata tidaklah semudah itu. Ketika suami berangkat bekerja, maka mulailah saya berusaha menikmati segala bentuk kesendirian dengan tenggelam dalam berbagai rutinitas rumahtangga. Dan tetap saja semua itu terasa menyiksa, karena saya tidak lagi mempunyai teman untuk sekadar bertukar pendapat tentang berbagai hal.

Otak saya terasa begitu tumpul dan bebal karena sama sekali tidak lagi terasah dalam berbagai forum diskusi. Satu-satunya kegiatan untuk mempertahankan kemampuan otak adalah dengan membaca dan menulis.

Wanita Modern dengan Peran Tradisional


Hingga akhirnya saya menemukan tulisan Annie Iwasaki, sosok perempuan yang dengan bangga menentukan sebuah pilihan untuk bekerja sebagai ibu rumahtangga di tanah air suaminya, Jepang. Annie benar-benar berusaha untuk menghayati dan memaknai kariernya itu. Ia kemudian menemukan bahwa justru dengan kembalinya para perempuan modern yang berpendidikan tinggi kepada peran tradisionalnya sebagai ibu rumahtangga murni, maka negara Jepang bisa maju!

Menurutnya hal ini dikarenakan, pertama, bekerjanya perempuan di sektor domestik (rumahtangga) itu berarti mengurangi kemungkinan kelebihan jumlah tenaga kerja di sektor publik. Kedua, perempuan berpendidikan yang bekerja di sektor domestik lebih menjamin terciptanya generasi masa depan Jepang yang berkualitas. Bahkan dalam sebuah artikelnya ia berani memberi judul “Peran Ganda Perempuan Karier Itu Nonsense!”



Sejak membaca tulisan itu, saya mulai belajar untuk berbesar hati menerima kenyataan bahwa kini saya adalah ibu rumah tangga murni. Meskipun menjadi ibu rumah tangga dalam pengertian yang paling klasik: berdiam di rumah, mengerjakan segala rutinitas kerumahtanggaan dengan tangan dan tetes keringat saya sendiri, adalah hal yang sebelumnya sama sekali tak terbayangkan.

Semasa remaja saya biasa menghabiskan waktu dengan berbagai aktivitas di luar rumah. Mulai dari urusan kuliah, mengerjakan koran kampus, rapat di masjid, rapat organisasi kemahasiswaan, dari pagi hingga malam. Maka apakah berlebihan jika saya begitu gamang menjalani profesi ibu rumahtangga (murni) ini? Apakah berlebihan jika saya begitu gelisah karena harus seharian berdiam diri di rumah dengan setumpuk pekerjaan rumah tangga yang seolah tiada berujung?

Menemukan Permata


Waktu terus berjalan. Putri kecil saya menginjak usia dua tahun. Celoteh dan tingkah lakunya telah mengajarkan begitu banyak hal kepada saya untuk terus belajar menjadi ibu yang baik. Bukankah guru terbaik seorang ibu adalah pengalamannya sendiri? Bukankah proses belajar menjadi ibu yang baik adalah proses sepanjang hayat?

Begitu satu tahap perkembangan keluarga telah terlampaui, maka masih terdapat milyaran tahapan pembinaan keluarga yang harus dijalani. Bukan sekadar mengandung selama sembilan bulan sepuluh hari. Sebab begitu terlahir, bayi itu masih harus dijaga, disuapi, dilimpahi kasih sayang, dididik agar ketika dewasa tidak tersesat jalan, juga masih harus disekolahkan. Setelah anak selesai sekolah apakah tugas ibu selesai?

Tentu saja tidak. Sang ibu akan terus memikirkan dimana si anak bekerja, bagaimana pendamping hidupnya, cukupkah kebutuhan hidupnya, bahagiakah perkawinannya? Dan sederetan pertanyaan lain yang akan terus mengikuti sang ibu dan menuntutnya untuk terus belajar hingga tutup usia. Maka adakah batas proses belajar (menjadi) seorang ibu? Tentu saja batasnya hingga akhir hayat.

Jadi, kegamangan yang saya alami ketika mulai menjalani profesi sebagai ibu rumah tangga, mungkin itu adalah bagian dari proses belajar menjadi ibu. Kini saya sudah kembali ke kota asal saya. di Malang - Jatim.

Saya kembali bergabung dengan teman-teman untuk mengaji seminggu sekali dan menghadiri pengajian umum tiap Ahad pagi. Saya juga menjalin hubungan baik dengan para tetangga, memberikan kursus bordir untuk menambah penghasilan keluarga, dan terus belajar menjadi istri sekaligus ibu yang baik.

Bayi mungil saya telah tumbuh menjadi malaikat kecil yang setiap saat mampu mengingatkan saya, betapa hidup hanya sekali dan hanya akan bermuara pada kematian. Sebagaimana dulu bayi saya tidak ada, kini Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikannya ada. Maka kelak Allah pun akan menjadikan saya tiada. Tidak ada pilihan lain bagi saya selain berusaha untuk memberikan yang terbaik sebagai bekal pertanggungjawaban kelak di hari pembalasan.

Anda mengalami keresahan ketika harus menjalani profesi ibu rumahtangga murni? Mulai sekarang, sapalah lingkungan sekitar Anda. Bergabunglah dengan kelompok-kelompok pengajian di sekitar tempat tinggal. Interaksi sosial yang baik akan banyak membantu menyegarkan sekaligus menghilangkan kejenuhan akibat rutinitas rumah yang cenderung monoton.

Atau jika Anda resah karena penghasilan suami begitu minim, mulailah untuk mengembangkan potensi. Apapun itu! Pun bila Anda bingung harus memulai dari mana, sertakanlah Allah dalam setiap usaha. Berdoalah pada-Nya. Allah Maha Kaya, Dia akan membukakan pintu-pintu rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka.

Allah akan membantu sebesar apapun masalah dan kesulitan kita. Tetapi semua itu hanya mungkin terjadi jika seorang perempuan, seorang hamba, mampu berlaku ikhlas serta mau melibatkan Allah dalam setiap detik pengabdiannya

Menjaga lisan dari kata kotor

Sebenarnya yg paling sering dilakukan oleh orang yg berbicara kotor dan keji adalah disaat bertengkar dan berdebat, pada saat itulah setan berusaha keras agar diantara keduanya tidak mau mengalah dan selalu ingin menang. Dan kalau sudah terjadi begini keduanya terjatuh pada akhlak yang hina. Sebagaimana sabda Nabi saw :

"Orang laki-laki yang paling dibenci ALLAH, ialah orang yang paling buruk pertengkarannya" (HR Bukhari Muslim)

Yang dimaksudkan dengan buruk pertengkarannya adalah ucapan-ucapan kotor yang dilontarkan pada waktu bertengkar, menyindir, menghina, mengejek dan lain-lain.