eng, tahu nggak, ibu muda cantik yang Jeng ajak bicara ketika pengajian Muharram kemarin sudah meninggal!”
“Innalillahi
wa innailaihi raaji’uun. Sepertinya Jeng Nida tidak punya sakit yang
serius. Lalu beliau meninggal karena apa Jeng Lis?” tanya Ratna
penasaran.
“Lha, ya itu yang menjadi teka-teki. Katanya
tidak ada tanda-tanda kalau Jeng Nida mau meninggal. Waktu pagi dan
siang hari beliau biasa momong bayinya. Eh, tiba-tiba malam hari
meninggal.”
“Eh, Jeng, bagaimana ya kalau itu terjadi pada kita?”
“Jangan ngomong gitu ah, ngeri! Lagian anak-anak kita masih kecil. Kasihan kalau tidak ada ibunya!”
***
Obrolan
tersebut menunjukkan betapa misteriusnya kematian. Datangnya tak
disangka-sangka, hadirnya pun tak diharapkan. Padahal kita tahu dan
sering menyaksikan kejadian alamiah ini.
Kullu nafsin dzaaiqatul-mauut. Tiap-tiap yang berjiwa pasti mati.
Kematian
sebenarnya bukanlah hal yang luar biasa. Sebagai wanita, hampir setiap
hari kita melihat kematian. Ketika kita memasak ikan atau ayam, maka
ikan dan ayam tersebut tadinya hidup, lalu mati.
Tapi
herannya, banyak di antara kita yang tak bisa mengambil ‘ibrah
(pelajaran) dari peristiwa ini. Kematian di sekeliling kita, termasuk
dalam rutinitas kerja, tak mampu menggetarkan hati.
Kematian
tetangga pun tetap tak memecut hati untuk mengingat kematian. Bahkan
bencana dahsyat seperti tsunami di Aceh, banjir lumpur di Jember, tanah
longsor di Banjarnegara, yang menelan ratusan korban, tak juga
menyadarkan kita akan dekatnya kematian. Barulah ketika salah seorang
keluarga meninggal dunia, kita tersentak dan merasa sangat kehilangan.
Kita merasa bagaikan orang yang paling menderita di dunia. Tak jarang
sampai tak sadarkan diri.
Seharusnya, kita senantiasa
sadar akan adanya hidup setelah kematian. Dengan begitu kita bisa
menyikapi kematian dengan bijaksana.
Anak-anak pun harus
diajari apa hakikat kematian itu. Dengan demikian mereka memiliki sikap
yang benar ketika menghadapi kematian. Setidaknya, mereka tidak trauma
berkepanjangan ketika suatu hari orang-orang yang mereka cintai pergi
ke alam baka.
Selalu Ingat
Allah
Subhanahu wa Ta'ala pasti punya maksud atas setiap kematian. Buat kita
yang masih hidup, kematian tak lain adalah peringatan agar kita tidak
terlena kepada kehidupan yang semu, lalu lalai dari tujuan hidup yang
sebenarnya.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُلْهِكُمْ
أَمْوَالُكُمْ وَلَا أَوْلَادُكُمْ عَن ذِكْرِ اللَّهِ وَمَن يَفْعَلْ
ذَلِكَ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ
وَأَنفِقُوا مِن مَّا
رَزَقْنَاكُم مِّن قَبْلِ أَن يَأْتِيَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ فَيَقُولَ
رَبِّ لَوْلَا أَخَّرْتَنِي إِلَى أَجَلٍ قَرِيبٍ فَأَصَّدَّقَ وَأَكُن
مِّنَ الصَّالِحِينَ
“Wahai orang-orang yang beriman!
Janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat
Allah. Dan barangsiapa berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang
yang rugi. Dan infaqkanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan
kepadamu sebelum kematian datang kepada salah seorang di antara kamu;
lalu dia berkata, ‘Wahai Tuhanku, sekiranya Engkau berkenan menangguhkan
(kematian)-ku sedikit waktu lagi, maka aku dapat bersedekah dan aku
termasuk orang orang yang saleh.’” (Al-Munaafiqun: 9-10)
Begitulah
manusia, tempat lalai dan lupa, selalu menunda-nunda pekerjaan yang
baik dan terlalu panjang cita-cita. Ketika ajal mejemput, barulah
menyesal karena lupa mempersiapkan hari esok.
Jika
diingatkan secara halus tak bisa, perlu peringatan keras (berupa
kematian) agar manusia mau introspeksi diri. Sebagaimana Rasulullah
Shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik nasihat adalah kematian.”
Itulah sebabnya kita dianjurkan untuk selalu mengingat mati. Bahkan,
ziarah kubur yang dulunya dilarang bagi kaum wanita, kemudian malah
dianjurkan, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Al-Hakim dan
Baihaqi, seperti kutipan di bawah ini:
Pada suatu hari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha pernah datang dari kuburan. Lalu aku bertanya padanya, “Wahai
Ummul-Mukminin, darimanakah engkau?” ‘Aisyah menjawab, “Dari kuburan
saudaraku, Abdurrahman.’ Kemudian kutanyakan lagi, “Bukankah Rasulullah
melarang ziarah kubur?” ‘Aisyah menjawab, “Benar, beliau pernah
melarang ziarah kubur, akan tetapi kemudian beliau menyuruhnya.” Adz-Dzahabi mengatakan hadits ini shahih.
Membuat Hidup Optimis
Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu ‘anhu berkata, “Bila
kamu berada pada waktu sore, maka janganlah menantikan waktu pagi. Dan
bila kamu berada pada waktu pagi, jangan nantikan waktu sore.
Pergunakan masa sehatmu untuk menyongsong masa sakitmu, dan pergunakan
masa hidupmu untuk menyongsong saat kematianmu.” (Riwayat Bukhari)
Waktu
terus berlalu dan tak bisa diulang kembali. Inilah konsep hidup yang
dinamis. Sebagai Muslimah, tiada kata nanti untuk berbuat kebaikan.
Tiada kamus malas dalam kehidupan.
Dengan selalu mengingat
bahwa hidup adalah ladang menanam amal kebaikan, yang akan dituai
setelah kematian, bisa menumbuhkan motivasi yang besar untuk selalu
berkarya. Bukankah sebaik-baik manusia adalah yang banyak manfaatnya
untuk orang lain?
Nah, seharusnya seorang Muslimah tidak
perlu takut menghadapi kematian. Justru kematian adalah gerbang menuju
hidup yang abadi. Menghadap Ilahi adalah kebahagian sejati. Dengan
adanya konsep hidup setelah mati, hidup Muslimah jadi terarah pasti.
Tetapi
kita juga dilarang berharap kematian sekalipun penderitaan menimpa
bertubi-tubi. Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah bersabda, “Janganlah
sekali-kali salah seorang di antara kamu sekalian mengharapkan mati.
Karena kalau ia orang baik, maka mungkin masih bisa menambah
kebaikannya, dan kalau ia jahat maka mungkin ia akan menghentikan
kejahatannya.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Seandainya terpaksa harus menginginkan mati, maka hendaklah berdoa, “Allaahumma
ahyinii maa kaanatil-hayaatu khairan lii, watawaffanii idzaa kaanatil
wafaatu khairan lii” (Wahai Allah, lanjutkan hidupku ini kalau hidup
ini memang baik bagiku, dan matikanlah aku seandainya mati itu lebih
baik bagiku). (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Sejarah
telah mencatat begitu banyak Muslimah maju ke medan perang dan tak
takut mati. Pada awal perjuangan Islam, justru istri dan putri-putri
Nabi menjadi penyokong perjuangan tegaknya Islam. Tak bisa diukur
begitu besar pengorbanan yang mereka berikan. Pada kurun waktu
berikutnya, tak sedikit Muslimah yang ikut berperang di garis belakang.
Bahkan ketika keadaan mendesak, mereka tampil di garis depan.
Pahala
menjadi seorang syahidah mampu mengalahkan rasa takut akan kematian.
Bila non-Muslim ingin hidup selamanya, maka sebaliknya, Muslimah
menantikan syahid di jalan Allah. Tak ada kematian yang sia-sia dalam
Islam. Walau mati di tempat tidur, jika diniatkan ibadah, tetap bisa
masuk surga. Apalagi yang jelas-jelas ada dalilnya, seperti ibu yang
meninggal ketika melahirkan dan sebelum menyapih anaknya.
Jadi, tak ada alasan bagi kita untuk takut mati. Yang penting bagaimana kita menyiapkan diri untuk menyongsongnya.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar