Terdapat banyak hukum haid, ada lebih dari dua puluh hukum. Dan kami
sebutkan di sini hukum-hukum yang kami anggap banyak diperlukan, antara
lain:
1. Shalat
Diharamkan bagi wanita haid mengerjakan
shalat, baik fardhu maupun sunat, dan tidak sah shalatnya. Juga tidak
wajib baginya mengerjakan shalat, kecuali jika ia mendapatkan sebagian
dari waktunya sebanyak satu raka’at sempurna, baik pada awal atau akhir
waktunya.
Contoh pada awal waktu : Seorang wanita haid setelah
matahari terbenam tetapi ia sempat mendapatkan sebanyak satu ra’kaat
dari waktunya. Maka wajib baginya, setelah suci, mengqadha’ shalat
maghrib tersebut karena ia telah mendapatkan sebagian dari waktunya yang
cukup untuk satu rakaat sebelum kedatangan haid.
Adapun contoh
pada akhir waktu, seorang wanita suci dari haid sebelum matahari terbit
dan masih sempat mendapatkan satu rakaat dari waktunya. Maka wajib
baginya, setelah bersuci, mengqadha’ shalat Shubuh tersebut karena ia
masih sempat mendapatkan sebagian dari waktunya yang cukup untuk satu
rakaat.
Namun, jika wanita yang haid mendapatkan sebagian dari
waktu shalat yang tidak cukup untuk satu rakaat sempurna; seperti :
Kedatangan haid -pada contoh pertama- sesaat setelah matahari terbenam,
atau suci dari haid -pada contoh kedua- sesaat sebelum matahari terbit,
maka shalat tersebut tidak wajib baginya. Berdasarkan sabda Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Artinya : Barangsiapa mendapatkan satu rakaat dari shalat, maka dia telah mendapatkan shalat”.
Pengertiannya,
siapa yang mendapatkan kurang dari satu rakaat dari waktu Ashar, apakah
wajib baginya mengerjakan shalat Zhuhur bersama Ashar, atau mendapatkan
satu rakaat dari waktu Isya’ apakah wajib baginya mengerjakan shalat
Maghrib bersama Isya’ ?
Terdapat perbedaan pendapat di antara para
ulama dalam masalah ini. Dan yang benar, bahwa tidak wajib baginya
kecuali shalat yang didapatkan sebagian waktu saja, yaitu shalat Ashar
dan Isya’. Karena sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Artinya
: Barangsiapa mendapatkan satu rakaat dari shalat Ashar sebelum
matahari terbenam, maka dia telah mendapatkan shalat Ashar itu”.
Nabi
tidak menyatakan “maka ia telah mendapatkan shalat Zhuhur dan Ashar”,
juga tidak menyebutkan kewajiban shalat Zhuhur baginya. Dan menurut
kaidah, seseorang itu pada prinsipnya bebas dari tanggungan. Inilah
madzhab Imam Abu Hanifah dan Imam Malik, sebagaimana disebutkan dalam
kitab Syarh Al-Muhadzdzab Juz 3, hal.70.
Adapun membaca dzikir,
takbir, tasbih, tahmid dan bismillah ketika hendak makan atau pekerjaan
lainnya, membaca hadits, fiqh, do’a dan aminnya, serta mendengarkan
Al-Qur’an, maka tidak diharamkan bagi wanita haid. Hal ini berdasarkan
hadits dalam Shahih Al-Bukhari-Muslim dan kitab lainnya bahwa Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersandar di kamar Aisyah
Radhiyallahu ‘anha yang ketika itu sedang haid, lalu beliau membaca
Al-Qur’an.
Diriwayatkan pula dalam Shahih Al-Bukhari-Muslim dari
Ummu ‘Athiyah Radhiyallahu ‘anha bahwa ia mendengar Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Agar keluar para gadis,
perawan dan wanita haid -yakni ke shalat Idul fitri dan Adha- serta
supaya mereka ikut menyaksikan kebaikan dan do’a orang-orang yang
beriman. Tetapi wanita haid menjauhi tempat shalat”.
Sedangkan
membaca Al-Qur’an bagi wanita haid itu sendiri, jika dengan mata atau
dalam hati tanpa diucapkan dengan lisan maka tidak apa-apa hukumnya.
Misalnya, mushaf atau lembaran Al-Qur’an diletakkan lalu matanya menatap
ayat-ayat seraya hatinya membaca. Menurut An-Nawawi dalam kitab Syarh
Al-Muhadzdzab, Juz 2, hal. 372 hal ini boleh, tanpa ada perbedaan
pendapat.
Adapun jika wanita haid itu membaca Al-Qur’an dengan
lisan, maka banyak ulama mengharamkannya dan tidak membolehkannya.
Tetapi Al-Bukhari, Ibnu Jarir At-Thabari dan Ibnul Munzdir
membolehkannya. Juga boleh membaca ayat Al-Qur’an bagi wanita haid,
menurut Malik dan Asy-Syafi’i dalam pendapatnya yang terdahulu,
sebagaimana disebutkan dalam kitab Fathul Baari , serta menurut Ibrahim
An-Nakha’i sebagaimana diriwayatkan Al-Bukhari.
Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa kumpulan Ibnu Qasim mengatakan : “Pada
dasarnya, tidak ada hadits yang melarang wanita haid membaca Al-Qur’an.
Sedangkan pernyataan “Wanita haid dan orang junub tidak boleh membaca
ayat Al-Qur’an” adalah hadist dha’if menurut perkataan para ahli hadits.
Seandainya wanita haid dilarang membaca Al-Qur’an, seperti halnya
shalat, padahal pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kaum
wanita pun mengalami haid, tentu hal itu termasuk yang dijelaskan Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umatnya, diketahui para istri
beliau sebagai ibu-ibu kaum mu’minin, serta disampaikan para shahabat
kepada orang-orang. Namun, tidak ada seorangpun yang menyampaikan bahwa
ada larangan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam masalah ini.
Karena itu, tidak boleh dihukumi haram selama diketahui bahwa Nabi tidak
melarangnya. Jika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melarangnya,
padahal banyak pula wanita haid pada zaman beliau, berarti hal ini
tidak haram hukumnya”.
Setelah mengetahui perbedaan pendapat di
antara para ulama, seyogyanya kita katakan, lebih utama bagi wanita haid
tidak membaca Al-Qur’an secara lisan, kecuali jika diperlukan.
Misalnya, seorang guru wanita yang perlu mengajarkan membaca Al-Qur’an
kepada siswi-siswinya atau seorang siswi yang pada waktu ujian perlu
diuji dalam membaca Al-Qur’an, dan lain sebagainya.
2. Puasa
Diharamkan
bagi wanita haid berpuasa, baik itu puasa wajib mupun puasa sunat, dan
tidak sah puasa yang dilakukannya. Akan tetapi ia berkewajiban
mengqadha’ puasa yang wajib, berdasarkan hadits Aisyah Radhiyallahu
‘anha.
“Artinya : Ketika kami mengalami haid, diperintahkan kepada kami mengqadha’ puasa dan tidak diperintahkan mengqadha’ shalat”.
Jika
seorang wanita kedatangan haid ketika sedang berpuasa maka batallah
puasanya, sekalipun hal itu terjadi saat menjelang maghrib, dan wajib
baginya mengqadha’ puasa hari itu jika puasa wajib. Namun, jika ia
merasakan tanda-tanda akan datangnya haid sebelum maghrib, tetapi baru
keluar darah setelah maghrib, maka menurut pendapat yang shahih bahwa
puasanya itu sempurna dan tidak batal. Alasannya, darah yang masih
berada di dalam rahim belum ada hukumnya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam ketika ditanya tentang wanita yang bermimpi dalam tidur seperti
mimpinya orang laki-laki, apakah wajib mandi ? Beliau pun menjawab.
“Artinya : Ya, jika wanita itu melihat adanya air mani”.
Dalam
hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengaitkan hukum dengan
melihat air mani, bukan dengan tanda-tanda akan keluarnya. Demikian pula
masalah haid, tidak berlaku hukum-hukumnya kecuali dengan melihat
adanya darah keluar, bukan dengan tanda-tanda akan keluarnya.
Juga
jika pada saat terbitnya fajar seorang wanita masih dalam keadaan haid
maka tidak sah berpuasa pada hari itu, sekalipun ia suci sesaat setelah
fajar. Tetapi jika suci menjelang fajar, maka sah puasanya sekalipun ia
baru mandi setelah terbit fajar. Seperti halnya orang dalam keadaan
junub, jika berniat puasa ketika masih dalam keadaan junub dan belum
sempat mandi kecuali setelah terbit fajar, maka sah puasanya. Dasarnya,
hadits Aisyah Radhiyallahu ‘anha, katanya.
“Artinya : Pernah suatu
pagi pada bulan Ramadhan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berada
dalam keadaan junub karena jima’, bukan karena mimpi, lalu beliau
berpuasa”.
3. Thawaf
Diharamkan bagi wanita haid melakukan
thawaf di Ka’bah, baik yang wajib maupun yang sunat, dan tidak sah
thawafnya. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada
Aisyah.
“Artinya : Lakukanlah apa yang dilakukan jemaah haji, hanya saja jangan melakukan thawaf di Ka’bah sebelum kamu suci”.
Adapun
kewajiban lainnya, seperti sa’i antara Shafa dan Marwah, wukuf di
Arafah, bermalam di Muzdalifah dan Mina, melempar jumrah dan amalan haji
serta umrah selain itu, tidak diharamkan. Atas dasar ini, jika seorang
wanita melakukan thawaf dalam keadaan suci, kemudian keluar haid
langsung setelah thawaf, atau di tengah-tengah melakukan sa’i, maka
tidak apa-apa hukumnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar