surat buat anakku tersayang
---------------------------------------------
Untuk anakku yang ku sayangi di bumi Allah ta’ala
Segala
puji ku panjatkan ke hadirat Allah ta’ala, yang telah memudahkan ibu
untuk beribadah kepada-Nya. Sholawat serta salam, ibu sampaikan kepada
Nabi Muhammad -shollallohu alaihi wasallam-, keluarga, dan para
sahabatnya.
Wahai anakku … Surat ini datang dari ibumu, yang
selalu dirundung sengsara. Setelah berpikir panjang, ibu mencoba untuk
menulis dan menggoreskan pena, sekalipun keraguan dan rasa malu
menyelimuti diri ini. Setiap kali menulis, setiap itu pula gores
tulisan ini terhalangi oleh tangis. Dan setiap kali menitikkan air
mata, setiap itu pula, hati ini terluka.
Wahai anakku …
Sepanjang
masa yang telah engkau lewati, kulihat engkau telah menjadi laki-laki
dewasa, laki-laki yang cerdas dan bijak. Karenanya engkau pantas
membaca tulisan ini, sekalipun nantinya engkau akan remas kertas ini,
lalu engkau robek-robek, sebagaimana sebelumnya engkau telah remas hati
ibu, dan telah engkau robek pula perasaannya.
Wahai anakku
… 25 tahun telah berlalu, dan tahun-tahun itu merupakan tahun
kebahagiaan dalam kehidupanku. Suatu ketika dokter datang menyampaikan
tentang kehamilanku, dan semua itu ibu sangat mengerti arti kalimat
tersebut.
Bercampur rasa gembira dan bahagia dalam diri ini,
sebagaimana ia adalah awal mula dari perubahan fisik dan emosi ibu.
Semenjak kabar gembira tersebut, aku membawamu sembilan bulan. Tidur,
berdiri, makan, dan bernafas dalam kesulitan. Akan tetapi, itu semua
tidak mengurangi cinta dan kasih sayangku kepadamu, bahkan ia tumbuh
bersama berjalannya waktu. Aku mengandungmu wahai anakku, pada kondisi
lemah di atas lemah. Bersamaan dengan itu, aku begitu gembira tatkala
merasakan dan melihat terjalan kakimu, atau balikan badanmu di
perutku. Aku merasa puas, setiap aku menimbang diriku, karena bila
semakin hari semakin berat perutku, berarti dengan begitu engkau sehat
wal afiat di dalam rahimku.
Anakku …
Penderitaan yang berkepanjangan menderaku, sampailah tiba pada malam itu, yang
aku tidak bisa tidur sekejap pun, aku merasakan sakit yang tidak
tertahankan, dan merasakan takut yang tidak bisa dilukiskan. Sakit itu
berlanjut,
sehingga membuatku tidak dapat lagi menangis. Sebanyak itu pula, aku
melihat kematian di hadapanku, hingga tibalah waktunya
engkau keluar ke dunia, dan engkau lahir. Bercampur air mata
kebahagiaanku
dengan air mata tangismu. Ketika engkau lahir, menetes air mata
bahagiaku. Dengan itu, sirna semua keletihan dan kesedihan, hilang
semua sakit dan penderitaan, bahkan kasihku kepadamu semakin bertambah,
dengan bertambah kuatnya sakit.
Aku raih dirimu, sebelum ku raih minuman. Aku peluk cium dirimu, sebelum meneguk satu tetes air yangada di kerongkongan.
Wahai
anakku … Telah berlalu setahun dari usiamu. Aku membawamu dengan
hatiku, memandikanmu dengan kedua tangan kasih sayangku. Sari pati
hidupku, kuberikan kepadamu. Aku tidak tidur, demi tidurmu, berletih
demi kebahagiaanmu. Harapanku pada setiap harinya, agar aku selalu
melihat
senyumanmu. Kebahagiaanku setiap saat, adalah setiap
permintaanmu agar aku berbuat sesuatu untukmu. Itulah kebahagiaanku.
Lalu berlalulah waktu, hari berganti hari, bulan berganti bulan, tahun
berganti tahun, selama itu pula, aku setia menjadi pelayanmu yang tidak
pernah lalai… menjadi dayangmu yang tidak pernah berhenti… menjadi
pekerjamu yang tidak pernah lelah… dan mendoakan selalu kebaikan dan
taufiq untukmu. Aku selau memperhatikan dirimu, hari demi hari, hingga
engkau menjadi dewasa. Badanmu yang tegap, ototmu yang kekar, kumis
dan jambang tipis
telah menghiasi wajahmu, telah menambah ketampananmu, wahai anakku…
Tatkala
itu, aku mulai melirik ke kiri dan ke kanan, demi mencari pasangan
hidupmu, semakin dekat hari perkawinanmu anakku, semakin dekat pula
hari kepergianmu. Tatkala itu, hatiku serasa teriris-iris, air mataku
mengalir, entah apa rasanya hati ini. Bahagia telah bercampur dengan
duka. Tangis telah bercampur pula dengan tawa. Bahagia karena engkau
mendapatkan pasangan… karena engkau telah mendapatkan jodoh… karena
engkau telah mendapatkan pendamping hidup… Sedangkan sedih karena
engkau
adalah pelipur hatiku, yang akan berpisah sebentar lagi dari diriku.
Waktu pun berlalu, seakan-akan aku menyeretnya dengan berat, kiranya
setelah perkawinan itu, aku tidak lagi mengenal dirimu.
Senyummu yang selama ini menjadi pelipur duka dan kesedihanku, sekarang telah sirna
bagaikan
matahari yang ditutupi oleh kegelapan malam. Tawamu yang selama ini
kujadikan buluh perindu, sekarang telah tenggelam, seperti batu yang
dijatuhkan ke dalam kolam yang hening, dengan dedaunan yang berguguran,
aku benar-benar tidak mengenalmu lagi, karena engkau telah
melupakanku dan melupakan hakku. Terasa lama hari-hari yang ku lewati, hanya untuk melihat rupamu.
Detik
demi detik ku hitung demi mendengar suaramu. Akan tetapi penantianku
seakan sangat panjang. Aku selalu berdiri di pintu hanya untuk menanti
kedatanganmu. Setiap kali berderit pintu, aku menyangka bahwa engkaulah
orang yang datang itu. Setiap kali telepon berdering, aku merasa bahwa
engkau yang akan menelponku. Setiap suara kendaraan yang lewat, aku
merasa bahwa engkaulah yang datang.
Akan tetapi semua itu tidak ada, penantianku sia-sia, dan harapanku
hancur berkeping. Yang ada hanya keputus-asaan… Yang tersisa hanya
kesedihan dari semua keletihan yang selama ini ku rasakan, sambil
menangisi diri dan nasib yang memang ditakdirkan oleh-Nya.
Anakku…
Ibumu tidaklah meminta banyak, ia tidaklah menagih padamu yang bukan-bukan.
Yang ibu pinta kepadamu: Jadikan ibumu sebagai sahabat dalam
kehidupanmu. Jadikanlah ibumu yang malang ini sebagai pembantu di
rumahmu, agar bisa juga aku menatap wajahmu, agar ibu teringat pula
dengan hari-hari bahagia masa kecilmu.
Dan
ibu memohon kepadamu nak, janganlah engkau pasang jerat permusuhan
dengan ibumu. Jangan engkau buang wajahmu, ketika ibumu hendak
memandangwajahmu. Yang ibu tagih kepadamu: Jadikanlah rumah ibumu,
salah satu tempat persinggahanmu, agar engkau dapat sekali-kali singgah
ke sana, sekalipun hanya sedetik. Jangan jadikan ia sebagai tempat
sampah yang tidak pernah engkau kunjungi. Atau sekiranya terpaksa engkau
datang sambil engkau tutup hidungmu dan engkaupun berlalu pergi.
Anakku…
Telah
bungkuk pula punggungku… bergemetar tanganku… karena badanku telah
dimakan oleh usia, dan telah digerogoti oleh penyakit… Berdirinya
seharusnya telah dipapah… duduk pun seharusnya dibopong…Akan tetapi,
yang tidak pernah sirna -wahai anakku- adalah cintaku kepadamu… masih
seperti dulu… masih seperti lautan yang tidak pernah kering… masih
seperti angin yang tidak pernah berhenti… Sekiranya engkau dimuliakan
satu hari saja oleh seseorang, niscaya engkau akan balas kebaikan
dengan
kebaikan, sedangkan ibumu, mana balas budimu, mana balasan baikmu?!
bukankah air susu seharusnya dibalas dengan air serupa?! bukan
sebaliknya air susu dibalas dengan air tuba?! Dan bukankah Allohta’ala,
telah berfirman: Bukankah balasan kebaikan, melainkan kebaikan yang
serupa?! Sampai
begitukah keras hatimu, dan sudah begitu jauhkah dirimu setelah
berlalunya hari dan berselangnya waktu.
Wahai anakku…
Setiap
kali aku mendengar bahwa engkau bahagia dengan hidupmu, setiap itu
pula bertambah kebahagiaanku. Bagaimana tidak?! Karena engkau adalah
buah dari kedua tanganku… Engkau adalah hasil dari keletihanku…
Engkaulah laba dari semua usahaku… Dosa apakah yang telah ku perbuat,
sehingga engkau jadikan diriku musuhbebuyutanmu?! Pernahkah suatu hari
aku salah dalam bergaul denganmu?! Atau pernahkah aku berbuat lalai
dalam melayanimu?! Tidak dapatkah engkau menjadikanku pembantu yang
terhina
dari sekian banyak pembantu-pembantumu yang mereka semua telah engkau
beri upah?! Tidak dapatkah engkau berikan sedikit perlindungan kepadaku
di bawah naungan kebesaranmu?! Dapatkah engkau sekarang
menganugerahkan sedikit kasih sayang demi mengobati derita orang tua
yang malang ini?!
Sesungguhnya Alloh mencintai orang-orang yang
berbuat baik. Wahai anakku… Aku hanya ingin melihat wajahmu, dan aku
tidak menginginkan yang lain.
Wahai anakku…
Hatiku terasa teriris, air mataku mengalir, sedangkan engkau
sehat wal afiat. Orang-orang sering mengatakan, bahwa engkau adalah
laki-laki yang supel, dermawan dan berbudi.
Wahai anakku…
Apakah
hatimu tidak tersentuh, terhadap seorang wanita tua yang lemah, binasa
dimakan oleh rindu berselimutkan kesedihan, dan berpakaian kedukaan?!
Mengapa? Tahukah engkau itu?! Karena engkau telah berhasil mengalirkan
air matanya… Karena engkau telah membalasnya dengan luka di hatinya…
Karena engkau telah pandai menikam dirinya dengan belati durhakamu
tepat menghujam jantungnya… Karena engkau telah berhasil pula
memutuskan tali silaturrahim.
Wahai anakku…
Ibumu inilah
sebenarnya pintu surga, maka titilah jembatan itu menujunya… Lewatilah
jalannya dengan senyuman yang manis, kemaafan, dan balas budi yang
baik… Semoga aku bertemu denganmu di sana, dengan kasih sayang Alloh
ta’ala sebagaimana di dalam hadits: “Orang tua adalah pintu surga yang
paling tinggi. Sekiranya engkau mau, sia-siakanlah pintu itu, atau
jagalah! (HR. Ahmad dan at-Tirmidzi, dishohihkan oleh Albani)
Anakku…
Aku
mengenalmu sejak dahulu… semenjak engkau telah beranjak dewasa… aku
tahu engkau sangat tamak dengan pahala… engkau selalu cerita tentang
keuatamaan berjamaah… engkau selalu bercerita terhadapku tentang
keutamaan shof pertama dalam sholat berjamaah… engkau selalu
mengatakan tentang keutamaan infak, dan bersedekah…Akan tetapi satu
hadits yang
telah engkau lupakan… satu keutamaan besar yang telah
engkau lalaikan…yaitu bahwa Nabi -shollallohu alaihi wasallam- telah
bersabda, sebagaimana diriwayatkan oleh Abdulloh bin Mas’ud, ia
mengatakan:
”Aku bertanya kepada Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam-: Wahai
Rosululloh, amal apa yang paling mulia? Beliau menjawab: sholat pada
waktunya. Aku bertanya lagi: Kemudian apa wahai Rosululloh? Beliau
menjawab: Kemudian berbakti kepada kedua orang tua. Aku bertanya lagi:
Kemudian apa wahai Rosululloh? Beliau menjawab: Kemudian jihad di
jalan Alloh. Lalu aku pun diam (tidak bertanya) kepada Rosululloh
-shollallohu alaihi wasallam- lagi, dan sekiranya aku bertanya lagi,
niscaya beliau akan menjawabnya.
Itulah hadits Abdulloh bin Mas’ud…
Wahai anakku…
Inilah
aku, ibumu… pahalamu… tanpa engkau harus memerdekakan budak atau
banyak-banyak berinfak dan bersedekah… aku inilah pahalamu…
Pernahkah engkau mendengar, seorang suami yang meninggalkan keluarga dan
anak-anaknya, berangkat jauh ke negeri seberang, ke negeri entah
berantah untuk mencari tambang emas, guna menghidupi keluarganya?! Dia
salami satu persatu, dia ciumi isterinya, dia sayangi anaknya, dia
mengatakan: Ayah kalian, wahai anak-anakku, akan berangkat ke negeri
yang ayah sendiri tidak tahu, ayah akan mencari emas… Rumah kita yang
reot ini, jagalah… Ibu kalian yang tua renta ini, jagalah…
Berangkatlah suami tersebut, suami yang berharap pergi jauh, untuk
mendapatkan emas, guna membesarkan anak-anaknya, untuk membangun istana
mengganti rumah reotnya. Akan tetapi apa yang terjadi, setelah tiga
puluh tahun dalam perantauan, yang ia bawa hanya tangan hampa dan
kegagalan. Dia gagal dalam usahanya. Pulanglah ia kembali ke
kampungnya. Dan sampailah ia ke tempat dusun yang selama ini ia
tinggal.
Apa lagi yang terjadi di tempat itu, setibanya di lokasi rumahnya, matanya
terbelalak. Ia melihat, tidak lagi gubuk reot yang ditempati oleh
anak-anak dan keluarganya. Akan tetapi dia melihat, sebuah perusahaan
besar, tambang emas yang besar. Jadi ia mencari emas jauh di negeri
orang, kiranya orang mencari emas dekat di tempat ia tinggal.
Itulah perumpaanmu dengan kebaikan, wahai anakku…
Engkau berletih mencari pahala… engkau telah beramal banyak… tapi
engkau telah lupa bahwa di dekatmu ada pahala yang maha besar… di
sampingmu ada orang yang dapat menghalangi atau mempercepat amalmu
masuk surga…
Ibumu adalah orang yang dapat
menghalangimu untuk masuk surga, atau mempercepat amalmu masuk surga…
Bukankah ridloku adalah keridloan Alloh?! Dan bukankan murkaku adalah
kemurkaan Alloh?! Anakku…
Aku takut, engkaulah yang dimaksud oleh Nabi Muhammad -shollallohu alaihi
wasallam- di dalam haditsnya:
” Celakalah seseorang, celakalah seseorang, dan celakalah seseorang! Ada yang
bertanya: Siapakah dia wahai Rosululloh? Beliau menjawab: Dialah orang
yang mendapati orang tuanya saat tua, salah satu darinya atau
keduanya, akan tetapi tidak membuat dia masuk surga. (HR. Muslim 2551)
Celakalah
seorang anak, jika ia mendapatkan kedua orang tuanya, hidup
bersamanya, berteman dengannya, melihat wajahnya, akan tetapi tidak
memasukkan dia ke surga.
Anakku…
Aku tidak akan angkat keluhan ini ke langit, aku tidak akan adukan
duka ini kepada Alloh, karena jika seandainya keluhan ini telah
membumbung
menembus awan, melewati pintu-pintu langit, maka akan menimpamu
kebinasaan dan kesengsaraan, yang tidak ada obatnya dan tidak ada tabib
yang dapat menyembuhkannya… Aku tidak akan melakukannya wahai anakku…
tidak… bagaimana aku akan melakukannya, sedangkan engkau adalah jantung
hatiku… bagaimana ibu ini kuat menengadahkan tangannya ke langit,
sedangkan engkau adalah pelipur lara hatiku… bagaimana ibu tega
melihatmu merana terkena doa mustajab, padahal engkau bagiku adalah
kebahagiaan hidupku…Bangunlah nak… bangunlah… bangkitlah nak…
bangkitlah… uban-uban sudah mulai merambat di kepalamu. Akan berlalu
masa, sehingga engkau akan menjadi tua pula.
Sebagaimana engkau
akan berbuat, seperti itu pula orang akan berbuat kepadamu. Ganjaran
itu sesuai dengan amal yang engkau telah tanamkan. Engkau akan memetik
sesuai dengan apa yang engkau tanam. Aku tidak ingin engkau menulis
surat ini… aku tidak ingin engkau menulis surat yang sama, dengan air
matamu kepada anak-anakmu, sebagaimana aku telah menulisnya kepadamu.
Wahai anakmu…
Bertakwalah
kepada Allah… takutlah engkau kepada Allah… berbaktilah kepada
ibumu…peganglah kakinya, sesungguhnya surga berada di kakinya… basuhlah
air matanya, balurlah kesedihannya… kencangkan tulang ringkihnya… dan
kokohkan badannya yang telah lapuk…
Anakku…
Setelah engkau membaca surat ini, terserah padamu. Apakah engkau sadar dan engkau akan kembali, atau engkau akan merobeknya.
Wa shollallohu ala nabiyyina muhammadin wa ala alihi wa shohbihi wa sallam. Dari Ibumu yang selalu mencintaimu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar